Diskusi Akhwat Berkarisma "Memilih Pasangan"

Bismillah,
sebelumnya, terima kasih untuk Teh Eva yang telah mengizinkan saya bergabung dalam diskusi ini. Khusus untuk tema ini, ingin sekali saya share, maka bagi para pembaca yang penasaran dgn berbagai topik lain yg sudah dibahas dalam diskusi, silahkan klik dan follow portal Tumblr Akhwat Berkarisma.
Semoga yang ikhwan juga baca, Aamiiin ya Rabbal 'aalamiin.
Baiklah, Langsung Saja.
Disko#1- Bagaimana Memilih Pasangan? (Part-1)
DISKUSI KAMIS ROMANTIS (DISKO) AKHWAT KARISMA ITB
“Bagaimana Memilih Pasangan, Bahagia di Dunia, Abadi di Surga”
Oleh Muhammad Firman, S.Si
(Praktisi Talents Mapping Nasional, Koordinator Fatherhood Forum Bandung)
(Praktisi Talents Mapping Nasional, Koordinator Fatherhood Forum Bandung)
akhwatberkarisma.tumblr.com
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ
Mari mulai dari ujungnya.
Kita menikah dan berkeluarga untuk bisa bahagia di akhirat dan di dunia ini. Maka dengan begitu kita menempatkan perihal menikah ini sebagai ibadah.
Maka memilih pasangan dimulai dari mencari seseorang yang juga berpikir seperti itu tentang Pernikahan dan Keluarga. Memang tidak mudah mencari seorang laki-laki yang sudah punya konsep tentang Keluarga dan Pernikahan. Belum banyak. Tapi ada dan bisa dicari. Keselarasan dasar pemikiran ini akan memudahkan pasangan untuk selalu berjalan seiring hingga bahagia di akhirat kelak.
Adapun karena untuk sampai ke sana kita harus sama sama meniti kehidupan di dunia, maka kita juga perlu memperhatikan faktor-faktor lain :
1. Tingkat Kedewasaan/Kemandirian
2. Kualitas karakter dan kepribadian
3. Kondisi dan latar belakang
4. Produktivitas hidup secara personal maupun sosial
5. Kemampuan untuk menyelaraskan hidup bersama
Pada akhirnya, kita bisa melihat ada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Untuk itu, kita selalu kembali kepada apa yang Allah sudah sampaikan dalam Al Quran bahwa seorang wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik, wanita shalihat itu untuk laki-laki shalih, dan demikian juga yang buruk itu untuk yang buruk.
Kita menikah dan berkeluarga untuk bisa bahagia di akhirat dan di dunia ini. Maka dengan begitu kita menempatkan perihal menikah ini sebagai ibadah.
Maka memilih pasangan dimulai dari mencari seseorang yang juga berpikir seperti itu tentang Pernikahan dan Keluarga. Memang tidak mudah mencari seorang laki-laki yang sudah punya konsep tentang Keluarga dan Pernikahan. Belum banyak. Tapi ada dan bisa dicari. Keselarasan dasar pemikiran ini akan memudahkan pasangan untuk selalu berjalan seiring hingga bahagia di akhirat kelak.
Adapun karena untuk sampai ke sana kita harus sama sama meniti kehidupan di dunia, maka kita juga perlu memperhatikan faktor-faktor lain :
1. Tingkat Kedewasaan/Kemandirian
2. Kualitas karakter dan kepribadian
3. Kondisi dan latar belakang
4. Produktivitas hidup secara personal maupun sosial
5. Kemampuan untuk menyelaraskan hidup bersama
Pada akhirnya, kita bisa melihat ada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Untuk itu, kita selalu kembali kepada apa yang Allah sudah sampaikan dalam Al Quran bahwa seorang wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik, wanita shalihat itu untuk laki-laki shalih, dan demikian juga yang buruk itu untuk yang buruk.
>> nex to part2
Disko#1- Bagaimana Memilih Pasangan? (Part-2)
Sesi Tanya Jawab Asyik
**Tambahan : jangan lupa bahwa dalam sepanjang hidup wanita, sejatinya selalu ada dalam perwalian. Artinya, kalau belum punya suami, ya berarti masih terhubung dengan walinya. ayahnya, kakaknya, adiknya, atau siapapun yang jadi wali atas dirinya. Terlebih jika masih ada ayah. maka hiduplah di hari ini. jadi seorang anak yang sebaik-baiknya bagi ayah yang masih hidup.**
<1> Q:
1. “Maka memilih pasangan dimulai dari mencari seseorang yang juga berpikir seperti itu tentang Pernikahan dan Keluarga” - - > maksudnya apakah bervisi sama ttg akhirat? Bagaimana ttg visi dunia?
2. Maksud dari poin produktivitas sosial dan menyelaraskan hidup bersama? Mohon diperjelas kang, dan bgmn menanggapi keadaan sekeliling/keluarga yg merespon bila status sosial (pend) akhwat nya terlihat lbh di banding ikhwannya
3. Kan ini judulnya memilih, bgmn bila belum ada pilihan saat ini tp ada yg terlintas di pikiran? Sementara ada sedikit pengalaman kurang enak sebelumnya dan membuat takut/trauma
>> A:
1. Yang penting visi akhirat. Kalau visi dunia, silahkan saling menyesuaikan sambil menjalani pernikahan. Pasti terjadi ini mah, berkompromi soal visi dunia.
Kualitas keselarasan pasangan bisa dilihat di sini. Apakah keduanya mau untuk benar-benar saling menyesuaikan untuk realita hidup dunia ini.
Contoh paling gampang : data perceraian saat ini paling banyak orang berpisah karena faktor ekonomi. Ini kan masalah ‘visi dunia’. Ironis sekali.
2. Mengenai produktivitas sosial, sebuah pernikahan harus menjadi penopang untuk seorang laki-laki dapat hidup produktif baik secara personal maupun sosial. karena bagi laki-laki itu kewajiban. obligation. Maka sejak awal pernikahan, flow dasar pernikahan adalah : 1. membangun fondasi pernikahan. 2. membangun fondasi nafkah 3. membangun fondasi pengasuhan.
Maka pada dasarnya lebih mudah dikelola jika dalam 10 tahun pertama pernikahan seiring fondasi diperkuat, di saat yang sama sang suami bisa mengembangkan karir/usaha di luar rumah dan sang istri bisa membangun fondasi pengasuhan di dalam rumah. Kalau ketimpangan status pendidikan mah sebenarnya bukan masalah sama sekali. kalau ada yang mempermasalahkan, ngga usah terlalu diambil pusing. yang penting sang suami tetap mantap sebagai pemimpin dan pemelihara keluarga
3. Kalau tentang belum punya pilihan, ini berarti waktunya untuk menjernihkan pikiran, perasaan, dan niat tentang keluarga. kalau ada perasaan perasaan ngga enak atau persepsi yang menghambat tentang pernikahan maka ini waktu yang pas untuk mulai mengurai, membahas, dan menjernihkannya.
1. “Maka memilih pasangan dimulai dari mencari seseorang yang juga berpikir seperti itu tentang Pernikahan dan Keluarga” - - > maksudnya apakah bervisi sama ttg akhirat? Bagaimana ttg visi dunia?
2. Maksud dari poin produktivitas sosial dan menyelaraskan hidup bersama? Mohon diperjelas kang, dan bgmn menanggapi keadaan sekeliling/keluarga yg merespon bila status sosial (pend) akhwat nya terlihat lbh di banding ikhwannya
3. Kan ini judulnya memilih, bgmn bila belum ada pilihan saat ini tp ada yg terlintas di pikiran? Sementara ada sedikit pengalaman kurang enak sebelumnya dan membuat takut/trauma
>> A:
1. Yang penting visi akhirat. Kalau visi dunia, silahkan saling menyesuaikan sambil menjalani pernikahan. Pasti terjadi ini mah, berkompromi soal visi dunia.
Kualitas keselarasan pasangan bisa dilihat di sini. Apakah keduanya mau untuk benar-benar saling menyesuaikan untuk realita hidup dunia ini.
Contoh paling gampang : data perceraian saat ini paling banyak orang berpisah karena faktor ekonomi. Ini kan masalah ‘visi dunia’. Ironis sekali.
2. Mengenai produktivitas sosial, sebuah pernikahan harus menjadi penopang untuk seorang laki-laki dapat hidup produktif baik secara personal maupun sosial. karena bagi laki-laki itu kewajiban. obligation. Maka sejak awal pernikahan, flow dasar pernikahan adalah : 1. membangun fondasi pernikahan. 2. membangun fondasi nafkah 3. membangun fondasi pengasuhan.
Maka pada dasarnya lebih mudah dikelola jika dalam 10 tahun pertama pernikahan seiring fondasi diperkuat, di saat yang sama sang suami bisa mengembangkan karir/usaha di luar rumah dan sang istri bisa membangun fondasi pengasuhan di dalam rumah. Kalau ketimpangan status pendidikan mah sebenarnya bukan masalah sama sekali. kalau ada yang mempermasalahkan, ngga usah terlalu diambil pusing. yang penting sang suami tetap mantap sebagai pemimpin dan pemelihara keluarga
3. Kalau tentang belum punya pilihan, ini berarti waktunya untuk menjernihkan pikiran, perasaan, dan niat tentang keluarga. kalau ada perasaan perasaan ngga enak atau persepsi yang menghambat tentang pernikahan maka ini waktu yang pas untuk mulai mengurai, membahas, dan menjernihkannya.
<2> Q:
1. Manakah dari 5 faktor diatas yang sebaiknya diutamakan?
2. Setelah menikah seorang wanita cenderung akan menghabiskan waktunya untuk mengurus suami dan anak, disitu amalan2 rutin yang dimilikinya sebelum menikah mungkin akan sedikit terkikis. Bagaimana menyikapi hal tersebut? Bagaimana peran suami dalam hal itu?
3. Apa batasan hal (Kondisi keluarga) yang perlu dibagikan ke calon suami sebelum menikah atau saat masa khitbah?
>>A:
1. Lima faktor itu penting semua, tentang 5 hal di atas : yang paling penting tentu adalah faktor kedewasaan, karakter, dan produktivitas.
2. mengenai amalan rutin, pasti memang ada yang berubah. nah sebenarnya kan ada amalan-amalan baru. kesempatan ibadah baru. saya rasa ini tidak apa apa. namun tentu suami harus turut membantu untuk menciptakan rutinitas keseharian yang dirasa paling optimal. Perlu dipahami oleh para suami bahwa ia adalah pemelihara istrinya. Maka ia harus menciptakan kehidupan di mana istrinya terus bertumbuh, semakin berkualitas, semakin bahagia.
3. Mengenai informasi yang bisa dibagikan pada suami, saran saya batasannya begini saja : bagikan info yang kita tidak jadi merasa malu/ngga enak perasaan jika ternyata khitbahnya tidak berlanjut.
1. Manakah dari 5 faktor diatas yang sebaiknya diutamakan?
2. Setelah menikah seorang wanita cenderung akan menghabiskan waktunya untuk mengurus suami dan anak, disitu amalan2 rutin yang dimilikinya sebelum menikah mungkin akan sedikit terkikis. Bagaimana menyikapi hal tersebut? Bagaimana peran suami dalam hal itu?
3. Apa batasan hal (Kondisi keluarga) yang perlu dibagikan ke calon suami sebelum menikah atau saat masa khitbah?
>>A:
1. Lima faktor itu penting semua, tentang 5 hal di atas : yang paling penting tentu adalah faktor kedewasaan, karakter, dan produktivitas.
2. mengenai amalan rutin, pasti memang ada yang berubah. nah sebenarnya kan ada amalan-amalan baru. kesempatan ibadah baru. saya rasa ini tidak apa apa. namun tentu suami harus turut membantu untuk menciptakan rutinitas keseharian yang dirasa paling optimal. Perlu dipahami oleh para suami bahwa ia adalah pemelihara istrinya. Maka ia harus menciptakan kehidupan di mana istrinya terus bertumbuh, semakin berkualitas, semakin bahagia.
3. Mengenai informasi yang bisa dibagikan pada suami, saran saya batasannya begini saja : bagikan info yang kita tidak jadi merasa malu/ngga enak perasaan jika ternyata khitbahnya tidak berlanjut.
<3> Q:
Bagaimana jika umur melewati target menikah kita misalnya, haris kah standar2 yg kita buat jadi menurun kang? Harus kah berdamai dengan keadaan alias pasrah?
>>A:
Mengenai target menikah, tentu kita perlu punya target & target terpenting adalah tentang target atas diri kita sendiri. Misal : saya punya target masuk ke dalam pernikahan dalam kondisi sudah mengenai ilmu ilmu dasar parenting. target saya masuk ke dalam pernikahan sudah bisa membaca Quran dengan baik dan juga sudah punya hafalan. target saya masuk ke dalam pernikahan dalam keadaan sudah memperbaiki hubungan saya dengan orangtua saya. Nah target-target seperti itu jauh lebih penting dan ada dalam kendali kita. Adapun kalau target target yang terkait “orangnya”, yang penting kita punya komposisi target yang benar. Maksudnya, target target itu kan bisa beda beda urgensi dan skala prioritasnya. Target punya suami yang hafidz Qur'an tentu bagus. Namun masih lebih mendasar target punya suami yang selalu shalat berjamaah di masjid dan selalu mencari rizki yang halal. Nah perkara target-target tentang “orangnya” wajar wajar saja kalau ada pergeseran selama yang prinsip tidak pernah digeser. Yang jelas, khususnya buat para akhwat nih.. ingat prinsipnya : menikah adalah untuk ibadah. dan pernikahan adalah ibadah yang besar. Jadi menikah itu bukan “membuat sebuah kisah indah nan romantis”.
Jangan sampai fantasi tentang kisah cinta, romantisme, dan bumbu bumbu zaman menimbulkan banyak bias dalam rencana menikah.
Misalnya juga : ada yang sudah usia 40 lebih. sudah sangat terbiasa hidup mandiri. Fun Fearless Female gitu lah. Karena perasaan itu akhirnya dia cenderung berpikir “ya udah lah, ngga usah nikah aja. aku bahagia juga kok hidup sendiri”. Masalahnya adalah : ya ngga menikah itu artinya melewatkan kesempatan menjalankan sebuah ibadah yang sangat besar. Penting untuk selalu menjadikan ilmu sebagai kompas pikiran dan perasaan.
Bagaimana jika umur melewati target menikah kita misalnya, haris kah standar2 yg kita buat jadi menurun kang? Harus kah berdamai dengan keadaan alias pasrah?
>>A:
Mengenai target menikah, tentu kita perlu punya target & target terpenting adalah tentang target atas diri kita sendiri. Misal : saya punya target masuk ke dalam pernikahan dalam kondisi sudah mengenai ilmu ilmu dasar parenting. target saya masuk ke dalam pernikahan sudah bisa membaca Quran dengan baik dan juga sudah punya hafalan. target saya masuk ke dalam pernikahan dalam keadaan sudah memperbaiki hubungan saya dengan orangtua saya. Nah target-target seperti itu jauh lebih penting dan ada dalam kendali kita. Adapun kalau target target yang terkait “orangnya”, yang penting kita punya komposisi target yang benar. Maksudnya, target target itu kan bisa beda beda urgensi dan skala prioritasnya. Target punya suami yang hafidz Qur'an tentu bagus. Namun masih lebih mendasar target punya suami yang selalu shalat berjamaah di masjid dan selalu mencari rizki yang halal. Nah perkara target-target tentang “orangnya” wajar wajar saja kalau ada pergeseran selama yang prinsip tidak pernah digeser. Yang jelas, khususnya buat para akhwat nih.. ingat prinsipnya : menikah adalah untuk ibadah. dan pernikahan adalah ibadah yang besar. Jadi menikah itu bukan “membuat sebuah kisah indah nan romantis”.
Jangan sampai fantasi tentang kisah cinta, romantisme, dan bumbu bumbu zaman menimbulkan banyak bias dalam rencana menikah.
Misalnya juga : ada yang sudah usia 40 lebih. sudah sangat terbiasa hidup mandiri. Fun Fearless Female gitu lah. Karena perasaan itu akhirnya dia cenderung berpikir “ya udah lah, ngga usah nikah aja. aku bahagia juga kok hidup sendiri”. Masalahnya adalah : ya ngga menikah itu artinya melewatkan kesempatan menjalankan sebuah ibadah yang sangat besar. Penting untuk selalu menjadikan ilmu sebagai kompas pikiran dan perasaan.
**Tambahan : jangan lupa bahwa dalam sepanjang hidup wanita, sejatinya selalu ada dalam perwalian. Artinya, kalau belum punya suami, ya berarti masih terhubung dengan walinya. ayahnya, kakaknya, adiknya, atau siapapun yang jadi wali atas dirinya. Terlebih jika masih ada ayah. maka hiduplah di hari ini. jadi seorang anak yang sebaik-baiknya bagi ayah yang masih hidup.**
Komentar
Posting Komentar